KesehatanLifestyleParenting

Lindungi Anak Indonesia dari Manipulasi Industri Rokok

Please, No Smoking (sumber foto: jurnal kesehatan FK UGM)

Apa kabar semua? Semoga selalu sehat dan bahagia ya..Aamiin. Setiap orang pasti memiliki kecemasan. Begitu pula saya. Sebagai ibu dari seorang anak laki-laki usia 16 tahun, ada kecemasan yang selalu menghantui saya. Kecemasan jika anak lelakinya menjadi seorang perokok. Bisa dibilang godaan rokok pada anak remaja ada di mana-mana dan datang dari berbagai penjuru. Jerat rayuan rokok bisa datang dari lingkungan tempat si anak remaja itu tumbuh dan bersosialisasi serta dari gempuran iklan rokok.

Jerat Rayu Rokok pada Anak 

Anak laki-laki saya

Celaka dua belas jika seorang anak tumbuh dan besar di lingkungan perokok. Keinginan untuk merokok akan semakin besar menggodanya.  Secara masif, dia akan melihat bagaimana orang terdekatnya asik menghisap benda kecil yang ukurannya tak lebih dari 9 cm itu. Perilaku merokok orang terdekatnya tersebut akan terekam dalam memori bawah sadarnya hingga tanpa disadarinya akan menggerakan dirinya untuk  menjadi seorang perokok juga. Dalam hal ini, saya beruntung, suami bukan perokok dan rumah kami bisa dibilang bebas dari asap rokok.

Bujuk rayu rokok juga berasal dari iklan rokok. Godaan yang datang dari iklan rokok ini, tak kalah dahsyatnya merayu anak sehingga banyak dari mereka yang akhirnya terjerat tipu muslihat iklan rokok. Hampir sebagian besar anak terpapar iklan rokok setiap harinya. Anak saya contohnya, hampir setiap hari dia membuka internet dan berselancar di dunia maya untuk melihat channel youtube favoritnya atau melihat tontonan musik. Tayangan youtube dan musik yang ditontonnya tersebut diselingi oleh iklan rokok yang sekilas tampak tidak seperti iklan rokok karena berisi kata-kata motivasi dan inspiratif. Atau terkadang hanya berupa tulisan brand rokoknya saja.

Belum lagi dari film yang ditontonnya. Anak saya ini suka sekali dengan film action. Seringkali dalam adegan film action yang ditontonnya, si pemeran utama merokok dan anak saya melihatnya sebagai sesuatu yang “gagah”. Karena itulah saya mengatakan bahwa bujuk rayu rokok pada anak menggempur dari segala penjuru. Di rumah sudah kondusif eh diluar, teman-temannya perokok. Tontonannya pun walau dilabeli untuk anak usia 15+, tapi diisi juga dengan adegan merokok. Jadi, tetap saja ada rokok di mana-mana.

Anak laki-laki saya pernah pula bercerita bahwa dari 19 orang siswa laki-laki yang ada di kelasnya, hanya empat orang saja yang tidak merokok. Menurut penuturan anak saya, teman-temannya yang perokok tersebut sering berkata pada dirinya kalau merokok itu bikin mereka terlihat keren, hebat, lebih “laki” dan sudah menjadi hal yang wajar kalau anak SMU itu merokok.

Anak saya juga kerap dibilang “cemen”, “pengecut” dan “tidak setia kawan” karena tidak ikutan merokok. Kondisi seperti inilah yang membuat saya sebagai ibunya kian waspada dan semakin membentengi anak pertama saya tersebut dengan pengertian dan penjelasan jika merokok itu ngga ada manfaat dan keuntungannya sama sekali. Malah bikin penyakit,  membuat uang cepat habis serta merugikan diri sendiri dan orang lain.

Memberikan pemahaman dan menyadarkan anak mengenai bahaya serta dampak buruk dari rokok ditengah gempuran pengaruh lingkungan dan iklan rokok, bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi beberapa kali saat berada di pusat perbelanjaan bersama teman-temannya, anak saya beserta teman-temannya tersebut ditawari sample rokok oleh SPG rokok yang ada di mall tersebut. Begitu mudahnya anak-anak memperoleh akses rokok dan membuat mereka semakin berpikir bahwa merokok bukanlah sebuah perilaku yang buruk. Saya dan suami sepakat untuk saling bahu membahu membangun kesadaran dalam diri anak laki-laki kami tersebut untuk berkata “TIDAK” pada rokok tapi dengan kesadaran yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
Masih berdasarkan cerita anak saya, tidak semua orangtua dari teman-temannya yang merokok itu mengetahui kalau anaknya merokok tapi ada pula yang malah “kompak” dengan orang tuanya dalam perihal rokok. Saling berbagi dan merokok bersama antara anak dan orangtuanya. Wedeeew…dan kekompakan tersebut sempat memunculkan kalimat,”Bun, Si A dan Bapaknya tadi pas Mas kerja kelompok di rumahnya, Mas lihat ngerokok bareng loh. Si A juga minta rokok dari Bapaknya. Kog ngga pa pa sih Bun? Memangnya Bapaknya Si A ngga tau klo rokok itu bahaya dan merugikan, Bun?”, dari mulut anak laki-laki saya tersebut. Kondisi seperti inilah yang membuat tugas saya sebagai orangtua dari seorang anak laki-laki usia remaja menjadi kian berat. Perlu kesabaran dan pantang menyerah untuk menggugah kesadarannya kalau merokok hanya mendatangkan keburukan untuk dirinya sendiri dan orang-orang sekitar yang terpapar asap rokok.

Anak sebagai target utama pemasaran rokok (sumber foto: Lentera Anak)

Industri Rokok dan Perokok Anak di Indonesia

“Perokok anak dan remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para anak muda tidak merokok maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah” (R.J Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984)”

Industri rokok di Indonesia dinilai telah menjadikan anak-anak terutama anak usia remaja sebagai target pasar mereka melalui iklan yang dikemas secara kreatif dan kekinian.  Berdasarkan data Riskesdas 2018 menunjukkan adanya peningkatan angka prevalensi perokok usia 10 – 18 tahun di Indonesia, dari 7,2 % di tahun 2013 menjadi 9,1 % di tahun 2018. Peningkatan persentase tersebut disinyalir karena adanya tindakan manipulatif yang dilakukan oleh industri rokok melalui iklan yang menyasar anak remaja sebagai target utamanya.

Lindungi anak usia remaja dari manipulasi industri rokok (sumber foto: Lentera Anak)

Industri rokok gencar menyasar anak usia remaja sebagai target utama pemasaran produknya dikarenakan setiap tahunnya industri rokok ini kehilangan 240.618 pelanggan setianya karena meninggal dunia atau berhenti merokok. Sehingga industri rokok sangat berkepentingan terhadap anak muda untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya karena anak muda merupakan pasar masa depan industri rokok. Industri rokok menjadikan anak muda sebagai target utama pemasarannya karena mereka berpotensi menggantikan para perokok senior yang sudah meninggal atau berhenti merokok. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak seperti yang dilansir oleh Beritakota id.

Ibu Lisda Sundari juga menyebutkan persoalan perokok anak belum selesai, dan kini malah semakin memburuk. Rokok elektronik juga sudah menyerbu pasar Indonesia, dan mulai digandrungi anak dan remaja. Prevalensi perokok elektrik penduduk usia 10-18 tahun mengalami kenaikan pesat. Dari 1,2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 10,9 persen pada 2018 (Data Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2018).

Salah satu penyebab tingginya jumlah perokok anak karena industri rokok sangat gencar menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif melalui iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading dan produk-produk baru. Sementara di sisi lain, peraturan dan perlindungan kepada anak dan remaja dari manipulasi industri rokok masih sangat lemah.

Salah satu yang membuat anak-anak tertarik untuk mulai merokok adalah iklan dan promosi rokok. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 menunjukkan terdapat 60,7 persen anak-anak yang melihat iklan promosi rokok di toko-toko, terdapat 62,7 persen anak yang melihat iklan rokok di media serta terdapat 7,9 persen anak-anak yang mengaku pernah ditawari rokok oleh penjual rokok. Data GYTS 2014 juga menyatakan Indonesia sebagai negara dengan angka perokok usia remaja tertinggi di dunia.

Perilaku perokok pada anak remaja (sumber foto : Lentera Anak)

Sementara itu, data survei perilaku perokok dikalangan anak-anak yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2019 lalu, tercatat total anak yang terpapar asap rokok baik sebagai perokok aktif dan pasif anak mencapai 57,8%. Sungguh persentase yang mengiris hati saya sebagai seorang ibu dari dua orang anak. Satu remaja laki-laki dan satu anak perempuan usia 9 tahun, beranjak remaja. Tingginya jumlah perokok anak di Indonesia semakin membuat hati saya tergerak untuk melindungi anak Indonesia terutama anak-anak saya dari godaan rokok dan manipulasi industri rokok.

Data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN mengungkapkan bahwa lebih dari 30% anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Indonesia diibaratkan sebagai asbak rokok raksasa. Sedih ya dengan hasil yang diungkapkan berdasarkan data tersebut. Oh ya, kita harus tau nih apa saja sih penyebab anak merokok supaya bisa mengantisipasinya.
Adapun faktor penyebab anak merokok, diantaranya adalah:
1. Anak meniru aktivitas merokok yang dilakukan orangtuanya. Anak adalah seorang peniru ulung;
2. Akses anak untuk mendapatkan rokok sangat mudah;
3. Industri rokok sasar anak dan remaja sebagai target pemasaran produknya melalui tipu muslihat iklan rokok;
4. Harga rokok di Indonesia terhitung sangat murah dan masih terjangkau uang jajan anak-anak. Rokok dijual perbatang;
5. Regulasi yang mengatur rokok di Indonesia masih longgar dan belum ada kebijakan yang tegas;
6. Iklan rokok tidak dilarang di Indonesia.

Sumber foto : Indonesia Baik

Webinar Online Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 Lentera Anak

Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 (sumber foto: Lentera Anak)

Setiap tanggal 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Tahun ini tema HTTS yang ditetapkan oleh WHO adalah “Lindungi Kaum Muda dari Manipulasi Industri Rokok dan Cegah Konsumsi Rokok dan Nikotin”. Lentera Anak sebagai salah satu yayasan yang peduli dan bekerja untuk membela hak anak melalui edukasi, advokasi, pemberdayaan dan studi tentang anak, mengadakan webinar online dalam rangka memperingati HTTS 2020. Webinar online tersebut diikuti oleh dua puluh orang blogger dan dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2020 melalui aplikasi zoom. Saya salah seorang dari dua puluh blogger yang ikut webinar online tersebut. Webinar online ini tepat sekali untuk saya karena saya ingin mengetahui lebih lanjut lagi mengenai manipulasi industri rokok pada anak yang terjadi di Indonesia.

Webinar online Lentera Anak dalam rangka HTTS 2020 yang melibatkan blogger tersebut, mengusung tema “Membedah Fakta Kebohongan Industri Rokok di Era Post-Truth”. Tema ini sangat sesuai dengan kondisi di Indonesia karena di negeri ini peringatan bahaya rokok menjadi lemah karena iklan rokok sangat massif, kreatif, menarik serta dikemas dengan sangat halus dan terselubung sehingga perlahan tapi pasti merasuki alam pikiran anak tanpa disadari sehingga mematikan daya kritis anak muda terhadap industri rokok dan produknya.

Untuk melindungi anak dari bahaya rokok serta mencegah generasi muda dari bujuk rayu industri rokok, diperlukan edukasi dan kampanye terus menerus. Tujuannya agar masyarakat semakin peduli terhadap kenyataan bahwa di Indonesia jumlah perokok anak semakin meningkat jumlahnya sehingga sama-sama mau berupaya untuk membebaskan generasi muda Indonesia dari manipulasi industri rokok. Serta mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang kuat guna melindungi anak muda dari target pemasaran industri rokok.

Webinar online dalam rangka HTTS 2020 yang diselenggarakan oleh Yayasan Lentera Anak ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu : Mba Kiki Soewarso, Mas Hariadi dan Mas M. Bigwanto. Mba Kiki menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara terpaan iklan rokok di media apapun dengan sikap merokok anak usia remaja. Terpaan iklan promosi dan sponsor rokok berpengaruh secara signifikan terhadap sikap merokok anak usia remaja.

Sumber foto : Lentera Anak

Menurut hasil penelitian riset Tim Peneliti Stikom LSPR mengungkapkan media online yang sering diakses oleh remaja seperti Youtube, Instagram dan website berita, secara masif digunakan industri rokok untuk beriklan. Hal ini sangat memungkinkan algoritma penggunaan media online sudah dipetakan oleh pengiklan rokok (produsen rokok).

Mba Kiki mengatakan, anak  remaja yang merokok, akan tetap merokok setelah melihat iklan rokok di media online. Sementara itu, anak remaja yang tidak merokok, kemungkinan akan merokok setelah melihat iklan rokok tersebut. Apalagi jika iklan dikemas sesuai dengan jiwa kekinian anak remaja dan membuat si anak berpikir bahwa rokok akan membuatnya hebat dan keren seperti yang ada dalam iklan rokok yang dilihatnya tersebut. Mba Kiki menegaskan jika ingin menghentikan jumlah perokok anak di Indonesia, pemerintah harus menaikkan harga rokok sehingga harga rokok tidak terjangkau oleh uang jajan anak remaja. Dan tidak ada lagi rokok yang dijual batangan.

Mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Mba Kiki membuat saya semakin menyadari bahayanya iklan rokok dalam menggoda anak untuk mencoba rokok. Mengikuti webinar online Lentera Anak ini, saya jadi tau bahwa di Indonesia cukup banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh industri rokok melalui iklan, sponsor dan CSR-nya. Seperti penjelasan yang diberikan oleh Mas Hariadi mengenai bagaimana industri rokok mengakali peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Industri rokok diatur oleh berbagai peraturan termasuk yang mengatur seputar sponsor rokok, iklan dan CSR.

Regulasi sponsorship, iklan dan CSR industri rokok diatur dalam PP 109 tahun 2012 yang isinya menyatakan bahwa produk tembakau yang mensponsori suatu kegiatan dapat dilakukan dengan syarat tidak boleh menggunakan merk dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau. Sponsor yang dilakukan tersebut tidak boleh bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau. Sponsor tersebut dilarang untuk kegiatan lembaga atau perorangan yang diliput media.

Pelanggaran yang dilakukan oleh industri rokok (sumber : Lentera Anak)

Peraturan tersebut juga mengatur jam tayang iklan dan melarang adanya brand image dalam kegiatan CSR. Namun kenyataannya dalam penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan oleh industri rokok, pasti menyertai brand image. Contohnya dalam audisi olahraga untuk anak-anak, di dalam ruangan audisi terdapat banyak brand image dari produk rokok yang mensponsorinya dan kaos yang digunakan oleh anak-anak yang ikut audisi, terdapat tulisan brand rokok yang mensponsorinya.

Pelanggaran yang dilakukan dalam kegiatan CSR produk rokok (sumber foto: Lentera Anak)

Begitu juga dengan acara musik yang disponsori oleh brand rokok, tetap saja ada banyak brand image dari produk rokok yang mensponsorinya. Pemerintah hingga hari ini masih dinilai belum tegas untuk menindak semua pelanggaran yang dilakukan oleh industri rokok tersebut. Iklan yang dilakukan secara massif oleh para produsen rokok inilah yang menjadi salah satu pemicu kian tingginya jumlah perokok anak di Indonesia.

Selaras dengan yang diutarakan oleh Mas Hariadi bahwa industri rokok cukup banyak melakukan pelanggaran dalam sponsorship, iklan dan kegiatan CSR yang dilakukannya, Mas Bigwanto juga mengatakan bahwa industri rokok juga melakukan manipulasi anak muda di era Post-Truth dengan cara-cara baru yang lebih inovatif, halus dan kreatif. Cara-cara baru tersebut dengan menggunakan media sosial, influencer anak muda, native advertisement dan iklan yang berisi kata-kata inspiratif. Industri rokok juga kian gencar mempromosikan rokok elektrik dengan menjual rasa aman merokok padahal semua itu adalah kebohongan semata.

Rokok elektrik atau vape sama berbahayanya dengan rokok biasa. Benar juga apa yang dikatakan oleh Bu Lisda, belum beres persoalan rokok pada anak, kini muncul persoalan baru yang tak kalah beratnya. Godaan merokok elektrik pada anak. Terlebih lagi, rokok elektrik ini dipermanis dengan tagline rokok aman dan tidak berbahaya. Tagline yang penuh kebohongan inilah yang dapat menjerat anak Indonesia dalam lubang nikotin yang lebih dalam lagi.

Diperlukan kerja keras dan kerjasama semua pihak agar generasi penerus bangsa dapat lepas dari manipulasi yang dilakukan oleh industri rokok melalui iklan dan sponsor yang gencar dilakukannya. Semangat ya untuk semua orangtua di Indonesia yang memiliki anak usia remaja untuk selalu melindungi buah hatinya dari manipulasi yang dilakukan oleh industri rokok. Mari kita menjadi teman untuk anak-anak kita sendiri dan menjadikan rumah sebagai tempat paling nyaman dan aman bagi anak. Smoga perokok anak di Indonesia setiap tahunnya terus menurun jumlahnya dan pada akhirnya Indonesia bisa bebas dari perokok anak..Aamiin.

Stop manipulasi industri rokok terhadap anak Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button