Uncategorized

Elegi Untuk Sahabat

Kamu ya kamu, nama yang selalu menemaniku saat sedih, senang bahkan ketika ku hampir hilang kewarasan. Kamu yang selalu terbahak mendengar celoteh gilaku. Hanya terbahak dan tersenyum tanpa pernah menyudutkanku meski pun ku tahu ku pantas mendapatkan semua caci maki. Kamu yang selalu menggandeng tanganku, berbagi beban tanpa tuntutan. Kamu yang mengulurkan kasih tanpa syarat. Kamu yang hanya diam setiap kali ku ngomel-ngomel tak karuan. Kamu yang selalu memilih diam untuk meredam keakuan. Kamu kini tinggal sepenggal kisah sendu. Kisah untuk kamu yang ku panggil Sahabat.

Tubuhku masih membisu, kaku tak tahu mesti bagaimana ketika melihat senyum mu mendadak sirna dibawa takdir. Aku masih disini, tak bergeming dalam pilu tak berkesudahan. Tergambar jelas dalam ingatan, masa-masa kita melewatkan malam bersama cangkir-cangkir kopi dan diktat tebal memabokkan. Jika kepala kita telah mendidih, gaduhlah tempat kita berpijak. Terbangunlah orang-orang satu asrama karena kerusuhan yang kita buat. Akulah salah satu juara pembuat onar dan kamu, seperti biasa, hanya tersenyum. Tersenyum mendukung sampai terpingkal-pingkal. Kita telah lewati hampir dua puluh tahun bersama. Tahun-tahun penuh kegilaan dan cerita. Kita berjanji akan selalu berbagi cerita sampai akhir usia. Akhir usia. Satu janji terpenuhi.

Hampir dua puluh tahun berbagi kegilaan dan kini, kamu pergi tanpa pesan. Keterlaluan. Sangat kelewatan. Kamu pergi tanpa pamit meninggalkan duka batin mendalam. Aku yakin kamu tahu betapa sulitnya melupakan senyummu. Tapi mengapa DIA memilihmu secepat ini? Aku tahu kamu tak bisa menolaknya tapi minimal tinggalkanlah pesan untukku.

Kita pernah saling berjanji untuk selalu ngopi bersama tapi kamu tidak penuhi janji itu. Lihat ini, sekarang aku ngopi sendiri., ditempat biasa kita berjumpa. Kamu pun berjanji, kita akan sama-sama melihat anak-anak kita tumbuh besar dan selalu menjadi saudara. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kamu biarkan anak-anakmu teriak memanggil-memanggil namamu. Kamu biarkan anak-anakmu kini tumbuh tanpa seorang ibu. Entah siapa yang kejam? Kamu, takdir atau keadaan. Orang-orang itu bilang, tak ada takdir yang kejam. Namun entahlah. Aku masih terpaku disini. Mencoba mengurai cerita yang ada, berharap ini hanya mimpi buruk yang cepat berakhir. Berharap esok terbangun dan menyapamu kembali. Sayangnya, semua ini nyata. Kamu pergi dan tak pernah kembali. Melupakan semua janji-janji. Andai malaikat maut mau sedikit berbaik hati memberikan kita sedikit waktu lebih dulu untuk menuntaskan  janji pertemuan kita, mungkin rasanya tak akan sesesak ini.

Maaf, aku tak bisa mengantarmu pergi. Aku tak ingin mengucapkan selamat jalan untukmu. Aku tak bisa. Bibirku kelu hanya untuk sekedar mengucapkan sepatah kata,” pergilah”. Kakiku terpaku tak mampu bergerak meski hanya untuk menatap kepergianmu dari jauh. Maafkan aku yang masih merasa bahwa kamu masih ada dan selalu ada. Kamu yang membuatku bersahabat tanpa topeng dan kepura-puraan. Kamu yang ceroboh namun cepat memaafkan. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan sebuah persahabatan. Persahabatan yang terjalin tanpa syarat, tanpa drama. Persahabatan yang berawal dari asrama  hingga akhir usia. Tak habis kata untuk mengisahkan kegilaan yang pernah kita lakukan. Tak pernah cukup.

Manusia tak kan pernah siap untuk ditinggalkan dan meninggalkan tapi takdir memaksa untuk menerima. Saat ini, dada masih terasa sesak setiap tersadar kini aku sendiri. Tak ada lagi kawan yang rela dibully tanpa protes, tak ada lagi teman yang hanya tertawa ngakak saat aku nyiinyirin orang, tak ada lagi sahabat yang sering membuat ku terhenyak dengan kalimat minimalisnya namun menohok hingga ulu hati, semua telah sirna.

Kehilangan bukan akhir segalanya, kalimat itu yang selalu kuulang, lagi dan lagi. Namun kalimat itu pula yang menamparku bolak balik. Tak ada yang dapat menggantikan posisimu, Sobat karena masing-masing nama telah menempati posisi masing-masing dan tak akan dapat saling tergantikan. Kamu tetap satu dari kisah istimewa yang pernah ada. Hanya waktu yang dapat menyembuhkan duka ini pelan-pelan. Hanya waktu.

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button