Lifestyle

Antara Aku, Kamu dan Bangku Taman Kampus Kita

Kembali lagi ke kampus ini setelah ratusan purnama berlalu. “Deg…!” hati langsung berdebar menatap nanar taman kampus yang berada tepat di depan ruangan jurusan kita. Taman yang telah jauh berbeda, lebih tertata apik namun ada yang tetap sama. Bangku taman itu tidak ikut berubah. Tetap sama seperti dulu, saat kita habiskan waktu tertawa dan menangis bersama.

Kala itu bagiku dunia tampak berwarna merah muda. Indah penuh romansa. Di bangku taman kampus ini, sekian ratus purnama yang lalu, kita torehkan cerita tanpa batas. Hanya ada tawa dan semangat gelora muda tentang hari depan yang indah penuh optimisme. Saat itu, hidup kurasakan begitu bergairah. Berdebat banyak hal denganmu namun anehnya tanpa ada yang merasa tersakiti. Lima menit bertikai sedetik kemudian kembali mengurai tawa.

Hanya bahagia yang ada meski tumpukan tugas menanti disertai onak duri menghadang. Dan di bangku taman kampus kita ini, entah berapa banyak lembar diktat kuliah, kita bahas bersama. Tepatnya kamu membantuku menyelesaikan tugas kuliah yang seperti nggak ada habisnya. Saat itu, aku merasa menjadi mahasiswa tingkat dua paling beruntung karena memiliki kekasih seorang asisten dosen yang cukup populer karena intelektualitas dan kharismanya.

Di bangku taman kampus ini juga pertama kalinya kita bertegur sapa. Aku yang sedang kebingungan karena kehilangan selembar tugas yang hari itu juga harus dikumpulkan, tidak menyadari ada seseorang yang terus mengamati gerak gerikku. “Nyari apa sih sampai nangis begitu?” Aku langsung menoleh kaget begitu mendengar suaramu. “Kertas tugasku nggak ada selembar Kang”, jawabku sambil terisak. “Hari ini juga dikumpulinnya? Mata kuliah apa?” tanyamu. “Pengantar Filsafat Kang” jawabku sambil terus mengobrak-ngabrik isi tas ku.

“Ayuk kita ke ruangan jurusan, kamu kerjain lagi tugas kamu yang hilang itu. Kebetulan komputer jurusan yang biasa Akang pakai lagi kosong, nggak ada yang gunain. Tenang saja, ada internet kok di ruangan jurusan. Jadi kamu bisa browsing tugasnya. Nanti Akang bantuin yah. Udah, nggak usah nangis. Udah jadi mahasiswa tingkat dua kok masih cengeng aja”. Ketika itu, kamu adalah malaikat penolong. Aku yang sudah pasrah nggak bisa ngumpulin tugas padahal sudah berjam-jam ngerjain di warnet tiba-tiba menemukan solusi berkat bantuanmu, lelaki yang kusebut cinta pertama.

Waktu itu tahun 1997, untuk bisa memperoleh jaringan internet dan mengerjakan tugas harus ke warnet. Internet tidak seperti sekarang, mudah diaksesnya bahkan telah menjangkau hampir semua tempat di negeri ini. Belum ada IndiHome, internetnya Indonesia ketika itu. Andai saja saat itu Telkom Group sudah meluncurkan IndiHome, internet keluarga Indonesia, aku takkan sampai menangis panik seperti itu. Dan bisa jadi saat itu akan ada cerpen IndiHome yang berisi kisah pilu cinta kita.

Kenangan tentang kamu, pemilik salah satu ruangan kecil dihati yang tidak pernah terusik siapapun, semakin menghujani pikiran saat ku duduk di bangku taman kampus kita ini. Satu persatu kisah kita muncul tanpa mampu ku cegah. Bangku taman kampus kita ini menjadi saksi bisu awal dan akhir kisah perjalanan cinta kita. Cinta yang indah sekaligus pilu.

Bangku ini menjadi teman setiaku saat menunggu kamu menyelesaikan tugas sebagai asisten dosen. Tempatku meluapkan kekesalan saat salah paham terjadi diantara kita. Tak jarang pula aku sampai tertidur di bangku ini. Tugas kuliah yang seabrek banyaknya sering membuatku begadang dan kelelahan. Kamu pun sering membiarkan aku tertidur sampai terbangun sendiri. Kala itu, kamu adalah masa kini dan masa depanku.

Hari berganti bulan, bulan pun berganti tahun, sampai akhirnya kamu pun berhasil menyelesaikan program magister dan aku mahasiswa tingkat akhir yang siap maju sidang skripsi. Berbagai rencana indah telah kita susun bersama hingga datanglah pesan singkat darimu. “Ada yang mau Akang omongin. Kita ketemuan di tempat biasa ya Neng, selesai kamu bimbingan aja ya”.

Selesai bimbingan skripsi, aku bergegas menuju bangku taman kampus kita ini, kupikir kamu pasti sudah cukup lama menunggu karena ternyata bimbingan skripsiku lebih lama dari perkiraan. Tapi tak tampak kamu di sana. Mataku tertegun menemukan sepucuk surat tergeletak dibangku taman kampus kita. Tertera namaku di amplop surat tersebut, “Teruntuk Senja”.

“Dearest Senja”

Terimakasih untuk 3,5 tahun yang indah tak terlupakan. Maafkan Akang karena tidak punya cukup keberanian untuk menemuimu untuk mengucapkan selamat tinggal. 

Senja yang baik, kamu adalah perempuan perkasa yang hebat, pemilik hati yang luas dan indah. Seperti namamu Senja. Teruslah melangkah dan tersenyum. Jika hari ini adalah perpisahan kita, bencilah Akang karena telah melukaimu.

Lupakan Akang dan rengkuhlah bahagiamu sendiri, Senja. Cinta Akang akan selalu menjagamu. Please Senja berbahagialah, tersenyumlah mewarnai hidup ini. Akang mencintaimu selamanya”

Bagai tersambar petir rasanya hari itu membaca suratmu. Lunglai tubuh ini sampai tak ada setetes air mata pun yang jatuh. Entah berapa lama ku terdiam dibangku ini sampai seorang sahabat mu datang dan memapahku pergi, beranjak dari tempat favorit kita berdua. Saat itu aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sampai ku melihat tubuhmu terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Operasi mu gagal dan kamu pergi tak akan pernah kembali lagi. 

Hancur lantak hatiku saat itu, duniaku runtuh. Aku merasa menjadi orang paling bodoh sekaligus jahat karena tidak tahu kalau orang yang dicintainya sekarat. Aku membencimu untuk waktu yang cukup lama. Membencimu karena melawan rasa sakit seorang diri. Aku sangat membencimu hingga tak sanggup menyebut namamu. Aku benci bangku taman kampus kita. Aku benci semua hal yang mengingatkan pada dirimu. Aku benci sekaligus mencintai hingga tak bisa lupa.

Butuh waktu ratusan purnama untuk bisa menerima kenyataan dan kembali ke kampus kita ini. Kembali ke bangku taman kampus kita. Perlu keberanian yang sangat besar untukku hingga bisa merelakan kisah antara aku, kamu dan bangku taman kampus kita. Kuhaturkan terima kasih pada bangku taman kampus kita ini karena telah menyimpan kisah kita yang abadi. Kini kakiku telah kuat dan terbiasa tanpa kehadiranmu, Kang karena aku yakin kamu selalu melihatku dari atas sana. Sampai berjumpa lagi di kehidupan nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button